(Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Inovativ II)
Lestariningsih, S.Pd., M.Pd
Nama
Anggota Kelompok:
1. Ahmad Didit Chayono Nim: 1431005
2. Aizzatur
Rohmah Nim: 1431009
3. Anni’mah Manzila P Nim: 1431014
4. Imro’atus Sholichah Nim:
1431038
5. M. Arya Setiawan Nim:
1431054
6. Nia Erlita P. Nim:
1431056
STKIP PGRI SIDOARJO
Jalan Kemiri,
Telp.(031) 8950181, Fax.(031) 8071354, Sidoarjo.
Website : http://stkippgri-sidoarjo.ac.id
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
MATEMATIKA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah swt. Karena ridhonya kami bisa menyelesaikan tugas makalah Pembelajaran
Inovatif II ini yaitu tentang Pendekatan PMRI.
Makalah ini dibuat sebagai tambahan materi dari sumber buku mata kuliah
Pembelajaran
Inovatif II. Tugas makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pembelajaran Inovatif II.
Kami
mengucapkan terimakasih kepada ibu Lestariningsih, S.Pd. M.Pd selaku
dosen pembimbing mata kuliah Pembelajaran Inovatif II,
yang selalu memotivasi kami dalam mengerjakan makalah ini.
Kami juga mengucapakn terimakasih kepada teman-teman, yang telah bekerja keras
membantu menyelesaikan tugas makalah ini. Tidak lupa kami juga berterimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membatu dalam memberikan sumber referensi makalah ini.
Dalam Penyusunan makalah ini tidak
menutup kemungkinan terdapatnya kekurangan dalam pengerjaannnya. Untuk itu
penulis mengharapakan kritik serta saran yang membangun.
Supaya dalam pembuatan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semuanya.
Sidoarjo,
26
Maret
2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
pengantar............................................................................................................. i
Daftar
isi.......................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan...................................................................................................... 2
D. Manfaat
Penulisan................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah PMRI................................................................................. 3
B. Prinsip-Prinsip PMRI............................................................................................... 8
C. Karateristik PMRI................................................................................................... 10
D. Langkah – langkah pembelajaran PMRI ................................................................ 12
E. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran PMRI ................................................... 13
F. Teori
yang berkaitan dengan Pembelajaran PMRI .................................................. 14
G. Penerapan PMRI dalam pembelajaran matematika
di kelas....................................
15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................
19
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................
20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di lingkungan sekolah banyak
pendapat yang mengatakan bahwa pengajaran matematika, khususnya di sekolah
dasar, belum menekankan pada pengembangan daya nalar (reasoning), logika dan proses berpikir siswa. Pengajaran matematika
umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara
verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Selain itu,
proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode ceramah yang
mekanistik, dengan guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa
mendengarkan, meniru atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru
tanpa inisiatif. Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya,
mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya.
Pembelajaran matematika
juga seolah-olah dianggap lepas untuk mengembangkan kepribadian siswa.
Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan faktor kognitif saja, padahal
pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup merupakan tugas
semua mata pelajaran di sekolah. Menghadapi kondisi itu, pembelajaran
matematika harus mengubah citra dari pembelajaran yang mekanistis menjadi
humanistis yang menyenangkan. Pembelajaran yang dulunya memasang kreativitas
siswa menjadi yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu berkutat
pada aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek termasuk
kepribadian dan sosial.
Salah satu inovasi
pembelajaran matematika itu adalah pembelajaran yang mendasarkan pada penerapan
“Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” atau disingkat PMRI. PMRI
mendasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang
dinamakan “Realistics Mathematics
Educations (RME)”. Kemudian dikembangkan dengan situasi dan kondisi serta
konteks di Indonesia, maka ditambahkan kata “Indonesia” untuk memberi ciri yang
berbeda. Prinsip dan karakteristik dasar dari PMRI tetap sama mendasarkan pada
RME.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan PMRI?
2.
Apa saja prinsip-prinsip
yang ada dalam PMRI?
3.
Bagaimana
karakteristik PMRI?
4.
Bagaimana
langkah-langkah pembelajaran melalui pendekatan PMRI?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan pengertian serta sejarah PMRI.
2.
Untuk memaparkan
apa saja prinsip-prinsip yang ada dalam PMRI.
3.
Untuk menjelaskan karakteristik
PMRI.
4.
Untuk menjelaskan langkah-langkah
pembelajaran melalui pendekatan PMRI.
D. Manfaat Penulisan
2.
Dapat mengetahui
prinsip-prinsip yang ada dalam PMRI.
3.
Dapat mengetahui
karakteristik PMRI.
4.
Dapat mengetahui
bagaimana langkah-langkah pembelajaran melalui pendekatan PMRI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah PMRI
PMRI digagas oleh sekolompok pendidik
matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah mencari pengganti matematika
modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah yang tidak
menakutkan siswa, jadi ramah dan dapat menaikkan prestasi matematika siswa di
dunia internasional. Di samping itu, matematika pada dasarnya bersifat
demokratis, jadi wajar bila melalui matematika dapat ditanamkan budaya
demokratis pada siswa. Pencarian yang lama akhirnya menemukan jawabannya lewat
RME (Realistic Mathematics Education) yang diterapkan dengan sukses di
Belanda dan juga di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat (disebut Mathematics
in Context).
RME dikembangkan oleh Freudenthal Instituut
Belanda. Bentuk dari RME dikembangkan oleh Hans
Freudenthal pada tahun 1977. Menurutnya, matematika harus dihubungkan
dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan
masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa
materi-materi matematika harus dapat ditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human
activity). Pendidikan seharusnya memberikan kesempatan siswa untuk “reinvent”
(menemukan/menciptakan) matematika melalui praktek (doing it). Dengan
demikian dalam pendidikan matematika, matematika seharusnya tidak sebagai
sistem yang tertutup tetapi sebagai suatu aktivitas dalam proses
pematematikaan.
Dunia nyata pada PMRI digunakan sebagai awal
dalam pengembangan ide dan konsep matematika. Menurut De Lange (dalam Hadi, 2005:20) pengembangan ide atau konsep
matematika yang dimulai dari dunia nyata disebut pematematikaan konseptual. Treffers (dalam Hadi, 2005:20)
membedakan dua macam pematematikaan, yaitu vertikal dan horizontal.
Pematematikaan horisontal adalah siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya (mathematical
tools) dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Sedang pematematikaan vertikal adalah proses reorganisasi dalam
sistem matematika itu sendiri, sebagai contoh menemukan cara singkat menemukan
hubungan antara konsep-konsep dan strategi-strategi, dan kemudian menerapkan
strategi-strategi itu. Singkatnya, pematematikaan horisontal berkaitan dengan
perubahan dunia nyata menjadi simbol-simbol dalam matematika, sedangkan pematematikaan
vertikal adalah pengubahan dari simbol-simbol ke simbol matematika lainnya (moving
within the world of symbols). Meskipun perbedaan antara 2 tipe ini menyolok,
tetapi tidak berarti bahwa 2 tipe tersebut terpisah sama sekali. Dua tipe
tersebut sama-sama bernilai. Pemerintah Belanda mereformasikan pendidikan matematika dengan istilah “realistic” tidak hanya berhubungan
dengan dunia nyata saja, tetapi juga menekankan pada masalah nyata yang dapat
dibayangkan (to imagine). Jadi
penekanannya pada membuat sesuatu masalah itu menjadi nyata dalam pikiran
siswa. Dengan demikian konsep-konsep yang abstrak (formal), dapat saja sesuai
dan menjadi masalah siswa, selama konsep itu dapat diterima oleh pikiran siswa.
Dengan adanya dua jenis matematisasi tersebut, Treffers (dalam Amin, 2006:42) mengklasifikasi pendekatan
pembelajaran matematika berdasarkan intensitas kedua matematisasi tersebut,
yaitu:
1.
Mekanistik
Mekanistik merupakan pendekatan
pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada latihan, dan penghafalan
rumus. Proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal tidak tampak.
2.
Strukturalistik
Strukturalistik merupakan
pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada matematisasi
vertikal dan cenderung mengabaikan matematisasi horisontal.
3.
Empiristik
Empiristik
merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada
matematisasi horisontal dan cenderung mengabaikan matematisasi vertikal.
4.
Realistik
Realistik
merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang menyeimbangkan matematisasi
horisontal dan vertikal.
Menurut Treffers (dalam Streefland,
1991:32) dengan memperhatikan keberadaan matematisasi horisontal dan
matematisasi vertikal yang terdapat pada setiap pendekatan pembelajaran
matematika, dapat dibuat tabel berikut.
Pendekatan
|
Matematisasi
|
|
Harisontal
|
Vertikal
|
|
Mekanistik
|
–
|
–
|
Strukturalistik
|
–
|
+
|
Empiristik
|
+
|
–
|
Realistik
|
+
|
+
|
Treffers (dalam Streefland, 1991:32)
Keterangan:
Tanda + menunjukkan komponen
matematisasi yang banyak diperhatikan.
Tanda – menunjukkan komponen
matematisasi yang kurang atau tidak diperhatikan.
Salah satu permasalahan terbesar dengan matematika modern ialah
menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan
secara mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa (Fauzan, 2002).
Fauzan mengamati di kelas bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa
memahaminya. PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika
di Indonesia. Reformasi pendidikan matematika beralaskan dua tiang: pertama
adalah kemampuan guru menciptakan budaya kelas yang berorientasi permasalahan
dan mengajak siswa dalam pelajaran yang bersifat interaktif, dan yang kedua
ialah merancang kegiatan pelajaran yang dapat mendorong penemuan kembali
matematika bersama dengan kemampuan guru menolong proses penemuan kembali (Gravemeijer, 1994). Faktor utama yang
menjadi perhatian dalam melakukan reformasi ini adalah guru dan dosen yang
harus bekerja sama. Mereka dipersiapkan melalui workshop yang meliputi kegiatan
menyiapkan bahan ajar yang kontekstual, bagaimana mengatur siswa bekerja dalam
kelompok dan memandu diskusi kelas, tidak menggurui tapi mendorong siswa berani
mengeluarkan pendapat, dsb. Dosen didorong turun ke sekolah dan memandu
pertemuan berkala antar guru. Workshop selalu mengacu pada kegiatan di kelas.
Sebelum workshop, Tim PMRI dan konsultan Belanda melakukan kunjungan ke sekolah
dan melakukan observasi di kelas. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di
kelas dirancang kegiatan workshop dan perserta diajak mencari solusinya.
Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa
matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus
dikaitkan dengan realitas (Hadi, 2003).
Berdasarkan
pemikiran tersebut, menurut Gravemeijer (dikutip
Hadi, 2003) PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam peroses pembelajaran
siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent)
matematika melalui bimbingan guru, dan menurut Lange (dikutip Hadi, 2003) bahwa
penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus
dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia nyata”
Menurut Blum dan Niss (dikutip Hadi, 2003) Dunia riil adalah segala sesuatu diluar matematika.
Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang
berbeda dengan matematika, atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan
sekitar kita.
Dalam PMRI, dunia nyata (real world) dapat dimanfaatkan sebagai titik awal
pengembangan ide dan konsep matematika. Blum
dan Niss (dikutip Kemendiknas, 2010)
menyatakan “real world is the world outside mathematics, such as
subject matter other than mathematic, or our daily life and environment” artinya,
dunia nyata adalah segala sesuatu diluar matematika seperti pada pelajaran lain
selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.
Sementara itu, Lange (dikutip
Kemendiknas, 2010) menyatakan : “Real world as a concrete real world which
is transferred to students through mathematical application” artinya, dunia
nyata sebagai suatu dunia yang kongkret yang disampaikan kepada siswa melalui
aplikasi matematika
PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna
dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat
realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah
yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan
sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan
situasi dalam dunia nyata.
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di
Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha
mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh
Prof. RK Sembiring dkk) sudah
dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk
mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia
untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di
Belanda.Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan
sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah.Â
Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di
Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun
2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta),
FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP
(Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas
Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura
Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Â Selain itu juga ada Unismuh,
Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto  dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang
terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000
sekolah.
Pada suatu kesempatan tahun 1994, Robert Sembiring dan Pontas Hutagalung
menghadiri Regional Conference of ICMI (International Commission on
Mathematical Instruction) di Shanghai China. Pada konferensi tersebut Prof Jan
de Lange (saat itu Direktur Institut Freudenthal, Utrecht, Belanda) sebagai
invited speaker memaparkan tentang RME. Sembiring segera menyadari bahwa RME
lah yang selama ini ia cari. Kepada beberapa peserta konferensi yang lain ia
menanyakan tentang RME.
Sekembali dari China, Sembiring mengontak beberapa pakar pendidikan matematika
di tanah air, seperti Prof R Soedjadi (UNESA), Prof Rusefendi (UPI), Prof
Suryanto (UNY), dan Dr Yansen Marpaung (USD), untuk mencari langkah mempelajari
lebih dalam RME, dan kemungkinan penerapannya di Indonesia. Mereka ternyata
mempunyai visi yang sama, terutama dalam upaya memperbaiki mutu pendidikan
matematika di tanah air. Bahkan lebih jauh dari itu mereka mempunyai visi yang
sama untuk menanamkan prinsip-prinsip demokrasi melalui pembelajaran
matematika.
Dalam PMRI, siswa dibiasakan untuk mengangkat tangan, dan mengangkat tangan
apabila mereka benar-benar mengerti jawaban. Guru diajarkan untuk menunjuk
seorang siswa di antara mereka yang mengangkat tangan. Siswa diajarkan untuk
berbicara setelah diberi kesempatan. Mereka juga dibiasakan untuk mendengarkan
satu sama lain, menghargai perbedaan, dan membahas perbedaan pendapat di antara
mereka.
Sembiring menambahkan: Itulah demokrasi. PMRI mengajarkan prinsip-prinsip
demokrasi.
B. Prinsip-Prinsip PMRI
Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer (1994:90). Tiga prinsip
tersebut, yaitu:
1.
Guided Reinvention (menemukan kembali) / Progressif Mathematizing (matematisasi
progresif)
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing
konsep-konsep matematika melalui matematisasi secara progresif. Disini siswa
harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana
konsep-konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mendorong atau mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa
dapat membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Penemuan kembali
dapat dilakukan dengan pemberian suatu masalah kontekstual yang mempunyai
solusi tidak tunggal. Kegiatan selanjutnya adalah matematisasi prosedur
permasalahan dan perancangan rute belajar sehingga siswa menemukan sendiri
konsep matematika yang akan dipelajarinya (Amin, 2006:43).
2.
Didactical Phenomenology (Fenomenologi didaktik)
Berdasarkan prinsip fenomenologi didaktik ini, pemilihan permasalahan
kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran PMRI didasarkan atas dua alasan,
yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik harus
diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) mempertimbangkan kepantasan suatu
permasalahan kontekstual digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi
progresif.
Konsep matematika didapat dari proses menggeneralisasi dari
penyelesaian masalah yang diberikan. Dari setiap penyelesaian siswa dituntut
untuk menyimpulkan berdasarkan jawaban yang telah mereka peroleh. Oleh karena
itu pada PMRI siswa mencoba mencapai dan merangkai penyelesaian masalah untuk
membentuk pengetahuan mereka sendiri.
3.
Self Developed Models (model yang dikembangkan
sendiri)
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara
pengetahuan informal dan formal dalam matematika. Siswa diberi kebebasan
membangun sendiri model matematika pada penyelasaian masalah kontekstual yang
diberikan. Hal tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model
yang dibangun oleh siswa. Model-model tersebut diharapkan pada akhirnya
mengarah pada bentuk matematika formal setelah melalui proses matematisasi.
Sejalan dengan konsep asalnya, menurut Marpaung (dikutip Kemendiknas, 2010)
PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali RME, yaitu guided
reinvention and progressive mathematization (penemuan terbimbing dan
matematisasi progresif), didactical phenomenology (fenomologi didaktis),
serta self developed models (model dikembangkan sendiri). Prinsip PMRI menurut Heuvel-Panhuizen dikutip
Kemendiknas (2010: 10) adalah sebagai berikut.
a.
Prinsip aktivitas,
yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara
mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.
b.
Prinsip relitas, yaitu
pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang relistik atau dapat
dibayangkan oleh siswa.
c.
Prinsip berjenjang,
artinya dalam belajar matemtika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu
dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau relistik secara
informal, melalui skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang
mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
d.
Prinsip jalinan,
artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan
dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain
sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih
baik.
e.
Prinsip interaksi,
yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus
diberikan kesempatan menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah
kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain
dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
f.
Prinsip bimbingan,
yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention)
pengetahuan matematika terbimbing.
C. Karateristik PMRI
Berdasarkan prinsip di atas pembelajaran dengan PMRI memiliki lima
karakteristik (Amin, 2006:46), yaitu:
1.
Penggunaan
konteks (The use of context)
Pembelajaran
diawali dengan penggunaan masalah nyata. Masalah nyata yang dimaksud bukan
hanya berarti “konkret” tetapi dapat juga sesuatu yang dapat dibayangkan oleh
siswa. Jadi pembelajaran berlangsung dengan membuat hubungan sesuatu yang
dipahami oleh siswa dengan sesuatu yang akan dipelajarinya (Siswono, 2006).
Penggunaan
dunia nyata di awal pembelajaran berfungsi sebagai wahana untuk membangun
konsep secara mandiri oleh siswa. Membangun konsep sendiri merupakan prinsip
utama dalam pembelajaran matematika. Hal ini bertentangan dengan anggapan yang
menyatakan bahwa pembelajaran adalah penyerapan pengetahuan yang diberikan atau
dipresentasikan oleh orang lain (Amin, 2006:47).
Dalam
pembelajaran ini siswa berusaha untuk menyelesaikan masalah secara mandiri dan
berkelompok. Permasalahan ini diselesaikan melalui sebuah tahapan yaitu masalah
diartikan sebagai kalimat matematika, memecahkan dengan aturan-aturan
matematika, dan pada akhirnya dikembalikan pada situasi nyata (Gravemeijer, 1994). Proses matematisasi
sebagai sebuah siklus, yang diilustrasikan seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.1 Siklus proses matematisasi
Berdasarkan
gambar di atas dapat kita ketahui bahwa matematisasi diawali dari permasalahan
nyata atau kontekstual. Selanjutnya melalui abstraksi dan formalisasi siswa
dapat mengembangkan konsep menjadi lebih lengkap. Pada akhirnya siswa dapat
mengaplikasikan konsep matematika yang diperolehnya ke dunia nyata. Dengan
penggunaan dunia nyata, pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna (Amin,
2006:47).
2.
Penggunaan
model
Model yang
digunakan siswa dalam proses pembelajaran dapat berupa model dari situasi yang
diberikan atau model yang dikembangkan oleh siswa itu sendiri. Model tersebut
digunakan sebagai jembatan dari pengetahuan matematika informal ke matematika
formal.
3.
Penggunaan
produksi dan konstruksi siswa
Siswa
diharapkan mengembangkan dan menemukan sendiri strategi penyelesaian masalah
dengan cara mereka sendiri yang mengarah pada pengkonstruksian prosedur
penyelesaian masalah. Disini guru dapat membimbing siswa untuk menemukan konsep
formal.
4.
Interaktivitas
Pembelajaran
berlangsung secara interaktif yang didominasi oleh aktivitas siswa. Interaksi
antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan perangkat
pembelajaran merupakan hal yang penting dalam PMRI. Proses belajar mengajar
berlangsung secara interaktif, dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di
kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru yang semula sebagai satu-satunya
pusat dan sumber pengetahuan menjadi seorang pembimbing dalam proses
pembelajaran.
5.
Jalinan antar
unit matematika
Hal yang
penting dalam PMRI adalah jalinan antar unit dalam matematika. Struktur dan
konsep dalam matematika saling terkait. Pembelajaran matematika menjadi lebih
efektif karena keterkaitan antara struktur dan konsepnya. Oleh karena itu
jalinan antar unit memudahkan siswa untuk menyelesaikan masalah (Amin,
2006:58).
D. Langkah-langkah pembelajaran PMRI
Menurut Hobri (2005: 102)
terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI,
yaitu:
Langkah 1:
Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa
diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang
mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban
yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi
pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa
mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih
bermakna.
Langkah 2 : Memikirkan atau
memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri.
Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
Langkah 3:
Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah
realistik yang diajukan guru. Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan
penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Pada tahap ini
dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan
bantuan.
Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan
pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat
presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang
mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
Langkah 5:
Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi
diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang materi
yang telah dipelajari.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran
PMRI
1. Kelebihan pembelajran pendekatan PMRI
Menurut Suwarsono
(dikutip Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran pembelajran pendekatan PMRI antara lain:
a.
Memberikan pengertian
yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan
sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
b.
Matematika adalah
suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa
dan oleh orang lain tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar matematika.
c.
Cara penyelesaian
suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak usah harus sama antara
orang yang satu dengan yang lainnya.
d.
Mempelajari
matematika peroses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk
mempelajarai metematika orang harus menjalani sendiri peroses itu dan menemukan
sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan guru.
e.
Memadukan
kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga
dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan
konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.
2. Kelemahan pembelajaran matematika realistic
Kelemahan pembelajaran
realistik menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003), yaitu:
a.
Pencarian soal-soal
yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu
dipelajari siswa.
b.
Penilaian dan
pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran
konvensional
c.
Pemilihan alat peraga
harus cermat sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa.
3. Cara mengatasi kelemahan pembelajaran matematika realistik dapat
dilakukan upaya-upaya antara lain :
a.
Memodifikasi semua
siswa untuk dalam kegiatan pembelajaran
b.
Memberikan bimbingan
kepada siswa yang memerlukan.
c.
Memberikan waktu yang
cukup kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep.
d.
Mengguanakan alat
peraga yang sesuai sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa maka
pembelajran matematika dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan
pemahaman siswa terhadap konsep matematika.
F.
Teori yang berkaitan dengan
Pembelajaran PMRI
Teori
yang terkait dengan Pembelajaran PMRI
adalah teori
Piaget.
Piaget mengemukakan bahwa ada tiga aspek perkembangan itelektual yaitu
struktur, isi,
fungsi. Struktur merupakan
organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia
berinteraksi dengan lingkungannya.
Isi
adalah pola prilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai
masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi ialah cara yang digunakan
amak untuk membuat kemajuan intelektual.
Penerapan
dari teori Piaget dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1.
Memusatkan perhatian
pada proses berpikir anak, bukan sekedar pada hasilnya.
2.
Menekankan pada
pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatannya secara
aktif dalam pembelajaran.
3.
Memaklumi adanya
perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangan. Oleh karena itu guru harus
melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu atau
kelompok-kelompok kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa PMRI sangat terkait
dengan teori Piaget, karena PMRI
menekankan pada proses berpikir siswa serta memperhatikan keterlibatan siswa
secara individu dalam menyelesaikan masalah kontekstual bukan hanya pada hasil
belajarnya sebagaimana diungkapkan dalam teori Piaget.
G.
Penerapan PMRI dalam pembelajaran matematika di kelas
Kelas : VII
Semester : I (satu)
Materi : Perbandingan
a) Keterkaitan pembelajaran pada materti perbandingan ini dengan 3
prinsip-prinsip PMRI,yaitu:
1. Menggunakan konteks baju seragam sekolah
merupakan fenomena-fenomena mendidik yang mengandung konsep matematika materi
perbandingan. Siswa diberi kesempatan untuk mengkontruksi konsep-konsep
matematika atau mengalami sendiri proses yang sama saat mereka melakukan
pengukuran dan membuat ukuran pola baju sebenarnya dan bukan pola baju
sebenarnya (digambar ukuran kecilnya).
2. Dari konteks tersebut dapat dijadikan bahan
dalam pembelajaran matematika yang berangkat dari keadaan yang real bagi siswa
sebelum mencapai tingkatan-tingkatan matematika formal.
3. Adanya model berupa gambar pola baju pada buku
mereka. Membandingkan pola baju sebenarnya berdasarkan hasil pengukuran dan
pola baju yang digambar pada buku mereka, berperan sebagai jembatan antara
pengetahuan informal dan matematika formal.
b) Keterkaitan Pembelajaran pada materi Perbandingan ini dengan kelima karakteristik PMRI, yaitu:
1.
Menggunakan konteks
Konteks
yang digunakan adalah baju seragam sekolah dan pola baju ukuran sebenarnya. Penggunaan
konteks tersebut bertujuan agar proses berfikir siswa terjadi sehingga dengan
menggunakan baju seragam yang dipakainya dia dapat melakukan proses pengukuran
dengan benar dan memperoleh angka-angka yang tepat untuk membuat pola baju.
2. Menggunakan model
Pola baju
yang digambar dengan ukuran kecil adalah merupakan model. Dengan menggunakan
model pola baju siswa dapat melakukan perbandingan dari angka-angka yang mereka
peroleh sendiri dari hasil pengukuran yang mereka lakukan terhadap salah satu
teman mereka dalam satu kelompok.
3.
Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi
yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa
sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih
formal. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja, berpikir dan mengkomunikasikan
pendapat mereka dan guru hanya bertindak sebagai pembimbing (fasilitator),
moderator dan evaluator.
4.
Interaktivitas
Guru
sebagai fasilitator memberikan arahan/petunjuk untuk mengatur mereka sehingga
siswa dapat berberinteraksi antara sesama siswa, siswa dengan guru, baik dalam
diskusi, kerjasama dan evaluasi.
5. Terintegrasi
dengan topik pembelajaran lainnya.
Dengan
melakukan pengukuran, siswa dapat membuat pola baju, dan membuat gambar tak
sebenarnya pada kertas gambar. Ini sangat menarik bagi siswa sebab akan
berkembang dengan membuat model (desain) baju dan hal ini berhubungan dengan pelajaran keterampilan.
c) Langkah – langkah
1.
Kegiatan Awal
A. Sebelum
proses pembelajaran siswa diminta menyiapkan :
a. Koran
b. Gunting
c. Skala
meteran
d. Pensil
e. mistar
B. Guru
menunjukkan kepada siswa baju seragam siswa
Diberikan
4 (empat) buah foto yaitu:
·
orang lagi menjahit
·
anak berpakaian baju
sekolah
·
orang lagi mengukur
·
pola baju
Dari
keempat foto tersebut siswa diminta untuk mengurutkannya, dan menceritakan
kejadian di atas.
2. Kegiatan Inti
A.
Siswa
diminta untuk menggambar desain Baju sesuai dengan ide mereka masing-masing
B.
Kemudian Siswa dibentuk dalam beberapa
kelompok di mana setiap kelompok terdiri dari 4 orang Siswa.
C.Untuk
tiap kelompok siswa masing-masing melakukan pengukuran pada salah seorang siswa
yang berada pada kelompoknya dengan instruksi sebagai berikut
a. Punggung,
Diukur dari
tulang leher belakang yang menonjol kebawah sampai dibawah ban
pinggang.
b.
Lebar bahu,
Diukur
dari lekuk leher di bahu atau bahu yang paling tinggi sampai titik bahu
yang terendah atau paling ujung.
c.
lebar punggung
Diukur
dari
pertengahan kedua pangkal lengan bagian belakang dari
kiri – kanan
d. Panjang lengan pendek
Diukur
dari puncak lengan ke bawah sampai kira-kira 3 cm di atas siku.
Siswa
diminta mencatatlah hasilnya dan mengisi titik-titik di bawah ini:
- Ukuran punggung = …… cm
- ukuran lebar bahu = ……..cm
- ukuran lebar punggung =……cm
- Panjang lengan =……. Cm
·
Dengan menggunakan
ukuran tersebut siswa diminta untuk membuat polanya pada kertas Koran.
·
Pola baju yang di buat
tadi di buat lagi gambarnya dalam ukuran kecil kemudian diukur panjang
punggung, lebar bahu, lebar punggung, dan panjang lengannya
dengan menggunakan mistar.
- Membandingkan ukuran pada pola di gambar dengan hasil ukuran yang sebenarnya.
Dengan mengisi
titik-titik di bawah ini:
- Ukuran punggung = …… cm : …… cm = ….. : ….
- Ukuran lebar bahu = …… cm : …… cm = ….. : ….
- Ukuran lebar punggung =……cm : ….cm = …. : ….
- Panjang lengan = ….. cm : … = ….. cm : …. : ….
- Lalu masing-masing kelompok menyimpulkan hasilnya dan menjelaskannya (dari kegiatan ini akan diperoleh konsep apa itu Skala)
- Diberikan 2 contoh gambar baju seragam sekolah dengan ukuran yang berbeda
- Diminta membandingkan gambar tersebut
- Bandingkan ukuran panjang lengan kiri nya =
- Bandingkan ukuran lebar baju =
- Hubungkan a) dan b) maka akan didapat
·
Yang akhirnya diperoleh
bentuk umum perbandingan
3. Penutup
·
Siswa diminta
mempresentasikan hasil kelompok mereka.
·
Guru memberikan PR
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pendekatan
PMRI yang dimaksud merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang
mengungkapkan pengalaman dan kejadian yang dekat dengan siswa sebagai sarana
untuk memahamkan persoalan matamatika (Kemendiknas, 2010).
Proses pembelajaran
dalam PMRI mengutamakan student oriented, tidak lagi teacher oriented.
Siswa aktif, bebas menyampaikan pendapat pada waktu pembelajaran
berlangsung atau pada waktu berdiskusi baik dengan guru atau siswa
lain. Peran guru sebagai fasilitator dan motivator yang membimbing jalannya
pembelajaran bukan menjelaskan semua konsep materi.guru membimbing
memberi motivasi dan membantu siswa (secara terbatas) selama pembelajaran
berlangsung sampai siswa dapat menarik suatu kesimpulan dari materi
yang dipelajari.
Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa PMRI merupakan pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah nyata atau kontekstual. Pada waktu pembelajaran, siswa diberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat atau ide, menghadapi ide siswa lain,
menggunakan gambaran atau simbol dalam memecahkan masalah kontekstual yang
dihadapi sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan dunia
nyata. Proses PMRI menggunakan
masalah kontekstual sebagai titik awal dalam belajar
matematika. Dalam hal ini siswa melakukan aktivitas matematika horizontal,
yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi
aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Siswa bebas mendeskripsikan,
menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan
cara sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki siswa
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Siti
Maghfirotun. (2006). Pengembangan Buku
Panduan Guru untuk Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Kecerdasan
Intrapribadi dan Interpribadi. Surabaya: Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Fauzan, A.
(2002). Applying Realistic Mathematics
Education In Teachin Geometry In Indonesian Primary Schools. Doctoral
dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer,
K. (1994). Developing Realistic
Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Hadi, Sutarto.
(2003). Paradigma Baru
Pendidikan Matematika. Banjarmasin:
FKIP Universitas Mangkurat.
Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin:
Tulip.
Hobri, M.Pd.
(2005). Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
untuk Guru dan Praktisi. Malang: Pena Salsabila
Kemendiknas. (2010). Pembelajaran
Matematika Dengan Pendekatan Realistik di SMP. Yogyakarta: Kemendiknas
Siswono,
Tatag Yuli Eko. (2006). PMRI:
Pembelajaran yang Mengembangkan Penalaran, Kreativitas dan Kepribadian Siswa.
Makalah Workshop Pembelajaran Matematika di MI Nurur Rohmah tanggal 8 Mei 2006.
Streefland,
Lees. (1991). Realistic
Mathematics Education in Primary School. Utrech: Freudenthal Institute.
Sutarto
Hadi. (2010). Kisah Hubungan Dua Bangsa
Memajukan Pendidikan Matematika. https://p4mriunlam.wordpress.com/2010/01/26/buku-a-decade-of-pmri-in-indonesia/.
Diakses pada tanggal 08 April 2016 pukul 21.22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar